Jumat, 30 Maret 2018

Memang bukan kotaku

Harpitnas yang menyenangkan minggu ini aku habiskan untuk pergi ke tempat yang pernah membuatku sangat nyaman. Aku hampir lupa sebenarnya ini bukan tempatku untuk bertahan namun lingkungan yang menyenangkan membuatku merasa disinilah hidup seharusnya berbahagia. 
Aku takut akan kembali lagi dan menjadi buram. Aku belum bisa menjadi air untuk kembali dan menumpahkan segala isi kepalaku. Aku setiap harinya berharap untuk menambahkan nyawa baru yang hampir mati jika aku kembali. Jika setiap harinya berharap, memang semuanya tidak akan terjadi. Aku hanya berharap untuk kembali dilahirkan di suatu tempat yang memang bukan kotaku.
Tidak akan terjadi. Berharap kan?

Rabu, 28 Maret 2018

Kalah

Kalian bisa tinggalkan tulisan ini jika kalian mengharapkan ada sequel dari tulisan-tulisan sebelumnya. Sungguh aku tidak memikirkannya sama sekali untuk membuat ini rapi.
Aku sedang mendengarkan lagu Juwita Malam dari Ismail Marzuki yang dinyanyikan oleh Indra Kusumah. Dari lagu yang kudengarkan sampai apa yang ku tulis ini sebenarnya tak ada hubungannya.
Baiklah.
Hah.
Menurut kalian sebenarnya mengalah itu seperti apa? Tanda kedewasaan? Atau syarat untuk menang?
Sugestiku terlalu tajam. 
Ya memang maksudku begitu. Mengalah adalah menang, dan tanda kedewasaan. Tapi, apa terlalu dewasa tidak begitu menyakitkan? Sebaiknya kita harus tetap bertahan seperti itu.
Nah, sekarang lagunya udah ganti, aku sedang mendengarkan Koenang Koenang dari Ismail Marzuki lagi yang dinyanyikan oleh Tiga Pagi. Begitu dengar 5 detik pertama aku langsung tau kalo ini Tiga Pagi. Aku menyukai lirik lagunya. Kerinduan akan kunang-kunang oleh seorang perwira. 
Ngomong-ngomong, kapan kalian terakhir liat kunang-kunang? Apa memang benar seperti liriknya, bisa menghibur hati yang dendam rindu?
Hah.
Membingungkan kan?
Aku hanya tau mengalah adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Jika aku sebut "meskipun" setelah kalimat sebelumnya tadi. Aku yakin akan ada yang gusar membacanya. 
Karna mengalah tak kenal mengeluh.

Selasa, 27 Maret 2018

Over rain

Hehe..
Aku meletakkan jari-jariku pada tuts laptop ini setelah bertengkar hebat dengan jalanan mengarungi deras sialnya hujan. Bodohnya, aku malah tidak membawa jas hujan di negara ber-dua musim ini. Padahal ya kalau tidak panas, ya hujan. Bodoh.
Aku sedang memegang beberapa catatan penting malam ini. Aku yakin kalian akan tau.
Bahwa aku.
Yang sedang mengenakan kaus oblong bercelana bola dan memegang botol soda ini. Sedang memikirkan bagaimana mengurusi banyak kepala yang kerap kali perduli namun sebenarnya penasaran mengurusi.
Aku heran.
Di bumi ini untuk menjadi orang baik adalah diartikan sebagai orang yang dungu. Dungu berarti tidak tau apa-apa dan selalu menjadi bahan cacian. Padahal seyogianya orang baik harus ada dan akan selalu menolong orang-orang yang baik juga (atau tidak baik sekalipun). Untuk menjadi jahat sekalipun sebenarnya dibutuhkan kepintaran lebih, namun kurang dalam akalnya. 
Jika seribu orang tetap mengajarkanku untuk menjadi jahat agar tidak terlihat dungu, apakah ada kurang dari 1 orang yang akan mengajarkanku kebaikan dan menjadikanku tetap dungu? Tentu ada..
Aku.
Dasar sombong kau, dungu.

Minggu, 25 Maret 2018

Belum juga?

Aku mengeluhkan kembali betapa susahnya menulis seperti ini. Aku mengatakan seribu kali pada diriku sendiri untuk tidak lagi menulis kata-kata ini seperti di novel. Tapi bagaimana mungkin bisa aku memendamnya sendiri sementara kalian saja mengenalku? Atau tidak? Sebenarnya aku tidak perduli. Aku akan tetap menulis. Mengetik sebenarnya, supaya lebih keren.
Aku mencintai energi baik setiap kali selepas menonton film. Bagaimana kalau perempuan (yang ku suka) sekarang ini sedang membaca tulisanku lalu menjadi pemeran utama filmnya sementara aku menjadi penontonnya? Terbayangkan betapa sehatnya aku kaya akan energi.
Jika yang sedang membaca ini perempuan yang ku maksud, sebentar.. 
Aku sedang mengubah bayanganku untuk menjadi lawan mainnya.

Sabtu, 17 Maret 2018

Dari tumblr

Maaf jika ini adalah pelarianku setelah tumblr mendapat kecaman bodoh dari pemerintah. Tempat ini memang agak sulit untuk ku gunakan, tapi aku tetap berupaya untuk menulis. Selepas apa yang ku rasakan lalu aku tuangkan.
Aku lebih senang menulis puisi dari pada kata-kata pembuka seperti ini. Aku tak pandai merangkai kata-kata formal agar ini menjadi mudah untuk diterima pembaca. Aku lebih menyukai pembaca yang sukar membaca namun menulis ala kadarnya seperti ini. Maaf sekali lagi terlalu banyak aku keluhkan hanya untuk menulis.
Kalau kita ngobrol-ngobrol dulu gimana? Di kafe atau warung kopi misalnya. Tapi, aku tidak terlalu menyukai kopi. Mengapa semua penulis harus dikait-kuatkan dengan kopi? (bukan mengakui aku ini penulis).
Lebih menyenangkan kita ngobrol ringan begini sepertinya setelah itu aku harus bercengkrama dengan kata-kata untuk membuat sebuah puisi.
Maaf dua kali lagi, ini belum terlalu jelas.